Kamis, 18 Mei 2017

kisah ashaabul kahfi

Kisah Ashaabul Kahfi

(Kisah Tujuh Pemuda Beriman yang menyelamatkan Iman ke Gua)

Dalam surat Al-Kahfi,
Allah SWT menceritakan tiga kisah masa lalu, yaitu kisah Ashabul Kahfi, kisah
pertemuan nabi Musa as dan nabi Khaidir as serta kisah Dzulqarnain. Kisah
Ashabul Kahfi mendapat perhatian lebih dengan digunakan sebagai nama surat
dimana terdapat tiga kisah tersebut. Hal ini tentu bukan kebetulan semata, tapi
karena kisah Ashabul Kahfi, seperti juga kisah dalam al-Quran lainnya, bukan
merupakan kisah semata, tapi juga terdapat banyak pelajaran (ibrah) didalamnya.
Ashabul Kahfi adalah nama sekelompok orang beriman
yang hidup pada masa Raja Diqyanus di Romawi, beberapa ratus tahun sebelum
diutusnya nabi Isa as. Mereka hidup ditengah masyarakat penyembah berhala
dengan seorang raja yang dzalim. Ketika sang raja mengetahui ada sekelompok orang
yang tidak menyembah berhala, maka sang raja marah lalu memanggil mereka dan
memerintahkan mereka untuk mengikuti kepercayaan sang raja. Tapi Ashabul Kahfi
menolak dan lari, dikejarlah mereka untuk dibunuh. Ketika mereka lari dari
kejaran pasukan raja, sampailah mereka di mulut sebuah gua yang kemudian
dipakai tempat persembunyian.
Dengan izin Allah mereka kemudian ditidurkan
selama 309 tahun di dalam gua, dan dibangkitkan kembali ketika masyarakat dan
raja mereka sudah berganti menjadi masyarakat dan raja yang beriman kepada
Allah SWT (Ibnu Katsir; Tafsir al-Quran al-‘Adzim; jilid:3 ; hal.67-71).
goa-ashabul-kahfi
Berikut adalah kisah Ashabul Kahfi (Penghuni Gua)
yang ditafsir secara jelas jalan ceritanya…..
Penulis kitab Fadha’ilul Khamsah Minas Shihahis
Sittah (jilid II, halaman 291-300), mengetengahkan suatu riwayat yang dikutip
dari kitab Qishashul Anbiya. Riwayat tersebut berkaitan dengan tafsir ayat 10
Surah Al-Kahfi:
“(Ingatlah) tatkala
pemuda-pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua lalu mereka berdo’a:
“Wahai Tuhan kami berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan
sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)”

(QS al-Kahfi:10)

Dengan panjang lebar kitab Qishashul Anbiya mulai
dari halaman 566 meriwayatkan sebagai berikut:
Di kala Umar Ibnul Khattab memangku jabatan
sebagai Amirul Mukminin, pernah datang kepadanya beberapa orang pendeta Yahudi.
Mereka berkata kepada Khalifah: “Hai Khalifah Umar, anda adalah pemegang
kekuasaan sesudah Muhammad dan sahabatnya, Abu Bakar. Kami hendak menanyakan
beberapa masalah penting kepada anda. Jika anda dapat memberi jawaban kepada
kami, barulah kami mau mengerti bahwa Islam merupakan agama yang benar dan
Muhammad benar-benar seorang Nabi. Sebaliknya, jika anda tidak dapat memberi
jawaban, berarti bahwa agama Islam itu bathil dan Muhammad bukan seorang Nabi.”
“Silahkan bertanya tentang apa saja yang
kalian inginkan,” sahut Khalifah Umar.
“Jelaskan kepada kami tentang induk kunci
(gembok) mengancing langit, apakah itu?” Tanya pendeta-pendeta itu,
memulai pertanyaan-pertanyaannya. “Terangkan kepada kami tentang adanya
sebuah kuburan yang berjalan bersama penghuninya, apakah itu? Tunjukkan kepada
kami tentang suatu makhluk yang dapat memberi peringatan kepada bangsanya,
tetapi ia bukan manusia dan bukan jin! Terangkan kepada kami tentang lima jenis
makhluk yang dapat berjalan di permukaan bumi, tetapi makhluk-makhluk itu tidak
dilahirkan dari kandungan ibu atau atau induknya! Beritahukan kepada kami apa
yang dikatakan oleh burung puyuh (gemak) di saat ia sedang berkicau! Apakah
yang dikatakan oleh ayam jantan di kala ia sedang berkokok! Apakah yang
dikatakan oleh kuda di saat ia sedang meringkik? Apakah yang dikatakan oleh
katak di waktu ia sedang bersuara? Apakah yang dikatakan oleh keledai di saat
ia sedang meringkik? Apakah yang dikatakan oleh burung pipit pada waktu ia
sedang berkicau?”
Khalifah Umar menundukkan kepala untuk berfikir
sejenak, kemudian berkata: “Bagi Umar, jika ia menjawab ‘tidak tahu’ atas
pertanyaan-pertanyaan yang memang tidak diketahui jawabannya, itu bukan suatu
hal yang memalukan!”
Mendengar jawaban Khalifah Umar seperti itu,
pendeta-pendeta Yahudi yang bertanya berdiri melonjak-lonjak kegirangan, sambil
berkata: “Sekarang kami bersaksi bahwa Muhammad memang bukan seorang Nabi,
dan agama Islam itu adalah bathil!”
Salman Al-Farisi yang saat itu hadir, segera
bangkit dan berkata kepada pendeta-pendeta Yahudi itu: “Kalian tunggu
sebentar!”
Ia cepat-cepat pergi ke rumah Ali bin Abi Thalib.
Setelah bertemu, Salman berkata: “Ya Abal Hasan, selamatkanlah agama
Islam!”
Imam Ali r.a. bingung, lalu bertanya:
“Mengapa?”
Salman kemudian menceritakan apa yang sedang
dihadapi oleh Khalifah Umar Ibnul Khattab. Imam Ali segera saja berangkat
menuju ke rumah Khalifah Umar, berjalan lenggang memakai burdah (selembar kain
penutup punggung atau leher) peninggalan Rasul Allah s.a.w. Ketika Umar melihat
Ali bin Abi Thalib datang, ia bangun dari tempat duduk lalu buru-buru
memeluknya, sambil berkata: “Ya Abal Hasan, tiap ada kesulitan besar,
engkau selalu kupanggil!”
Setelah berhadap-hadapan dengan para pendeta yang
sedang menunggu-nunggu jawaban itu, Ali bin Abi Thalib herkata: “Silakan
kalian bertanya tentang apa saja yang kalian inginkan. Rasul Allah s.a.w. sudah
mengajarku seribu macam ilmu, dan tiap jenis dari ilmu-ilmu itu mempunyai
seribu macam cabang ilmu!”
Pendeta-pendeta Yahudi itu lalu mengulangi
pertanyaan-pertanyaan mereka. Sebelum menjawab, Ali bin Abi Thalib berkata:
“Aku ingin mengajukan suatu syarat kepada kalian, yaitu jika ternyata aku
nanti sudah menjawab pertanyaan-pertanyaan kalian sesuai dengan yang ada di
dalam Taurat, kalian supaya bersedia memeluk agama kami dan beriman!”
“Ya baik!” jawab mereka.
“Sekarang tanyakanlah satu demi satu,”
kata Ali bin Abi Thalib.
Mereka mulai bertanya: “Apakah induk kunci
(gembok) yang mengancing pintu-pintu langit?”
“Induk kunci itu,” jawab Ali bin Abi
Thalib, “ialah syirik kepada Allah. Sebab semua hamba Allah, baik pria
maupun wanita, jika ia bersyirik kepada Allah, amalnya tidak akan dapat naik
sampai ke hadhirat Allah!”
Para pendeta Yahudi bertanya lagi: “Anak
kunci apakah yang dapat membuka pintu-pintu langit?”
Ali bin Abi Thalib menjawab: “Anak kunci itu
ialah kesaksian (syahadat) bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah
Rasul Allah!”
Para pendeta Yahudi itu saling pandang di antara
mereka, sambil berkata: “Orang itu benar juga!” Mereka bertanya lebih
lanjut: “Terangkanlah kepada kami tentang adanya sebuah kuburan yang dapat
berjalan bersama penghuninya!”
“Kuburan itu ialah ikan hiu (hut) yang
menelan Nabi Yunus putera Matta,” jawab Ali bin Abi Thalib. “Nabi
Yunus as. dibawa keliling ketujuh samudera!”
Pendeta-pendeta itu meneruskan pertanyaannya lagi:
“Jelaskan kepada kami tentang makhluk yang dapat memberi peringatan kepada
bangsanya, tetapi makhluk itu bukan manusia dan bukan jin!”
Ali bin Abi Thalib menjawab: “Makhluk itu
ialah semut Nabi Sulaiman putera Nabi Dawud alaihimas salam. Semut itu berkata
kepada kaumnya: “Hai para semut, masuklah ke dalam tempat kediaman kalian,
agar tidak diinjak-injak oleh Sulaiman dan pasukan-nya dalam keadaan mereka
tidak sadar!”
Para pendeta Yahudi itu
meneruskan pertanyaannya: “Beritahukan kepada kami tentang lima jenis
makhluk yang berjalan di atas permukaan bumi, tetapi tidak satu pun di antara
makhluk-makhluk itu yang dilahirkan dari kandungan ibunya atau induknya!”Ali bin Abi Thalib menjawab: “Lima makhluk
itu ialah, pertama, Adam. Kedua, Hawa. Ketiga, Unta Nabi Shaleh. Keempat, Domba
Nabi Ibrahim. Kelima, Tongkat Nabi Musa (yang menjelma menjadi seekor ular).”
Dua di antara tiga orang pendeta Yahudi itu
setelah mendengar jawaban-jawaban serta penjelasan yang diberikan oleh Imam Ali
r.a. lalu mengatakan: “Kami bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan
Muhammad adalah Rasul Allah!”
Tetapi seorang pendeta lainnya, bangun berdiri
sambil berkata kepada Ali bin Abi Thalib: “Hai Ali, hati teman-temanku
sudah dihinggapi oleh sesuatu yang sama seperti iman dan keyakinan mengenai
benarnya agama Islam. Sekarang masih ada satu hal lagi yang ingin kutanyakan
kepada anda.” “Tanyakanlah apa saja yang kau
inginkan,” sahut Imam Ali.
“Coba terangkan kepadaku tentang sejumlah
orang yang pada zaman dahulu sudah mati selama 309 tahun, kemudian dihidupkan
kembali oleh Allah. Bagaimana hikayat tentang mereka itu?” Tanya pendeta
tadi.
Ali bin Ali Thalib menjawab: “Hai pendeta
Yahudi, mereka itu ialah para penghuni gua. Hikayat tentang mereka itu sudah
dikisahkan oleh Allah s.w.t. kepada Rasul-Nya. Jika engkau mau, akan kubacakan
kisah mereka itu.”
Pendeta Yahudi itu menyahut: “Aku sudah
banyak mendengar tentang Qur’an kalian itu! Jika engkau memang benar-benar
tahu, coba sebutkan nama-nama mereka, nama ayah-ayah mereka, nama kota mereka,
nama raja mereka, nama anjing mereka, nama gunung serta gua mereka, dan semua
kisah mereka dari awal sampai akhir!”
Ali bin Abi Thalib kemudian membetulkan duduknya,
menekuk lutut ke depan perut, lalu ditopangnya dengan burdah yang diikatkan ke
pinggang. Lalu ia berkata: “Hai saudara Yahudi, Muhammad Rasul Allah
s.a.w. kekasihku telah menceritakan kepadaku, bahwa kisah itu terjadi di negeri
Romawi, di sebuah kota bernama Aphesus, atau disebut juga dengan nama Tharsus.
Tetapi nama kota itu pada zaman dahulu ialah Aphesus (Ephese). Baru setelah
Islam datang, kota itu berubah nama menjadi Tharsus (Tarse, sekarang terletak
di dalam wilayah Turki).
Penduduk negeri itu dahulunya mempunyai seorang
raja yang baik. Setelah raja itu meninggal dunia, berita kematiannya didengar
oleh seorang raja Persia bernama Diqyanius. Ia seorang raja kafir yang amat
congkak dan dzalim. Ia datang menyerbu negeri itu dengan kekuatan pasukannya,
dan akhirnya berhasil menguasai kota Aphesus. Olehnya kota itu dijadikan ibukota
kerajaan, lalu dibangunlah sebuah Istana.”
Baru sampai di situ, pendeta Yahudi yang bertanya
itu berdiri, terus bertanya: “Jika engkau benar-benar tahu, coba terangkan
kepadaku bentuk Istana itu, bagaimana serambi dan ruangan-ruangannya!”
Ali bin Abi Thalib menerangkan: “Hai saudara
Yahudi, raja itu membangun istana yang sangat megah, terbuat dari batu marmar.
Panjangnya satu farsakh (= kl 8 km) dan lebarnya pun satu farsakh.
Pilar-pilarnya yang berjumlah seribu buah, semuanya terbuat dari emas, dan
lampu-lampu yang berjumlah seribu buah, juga semuanya terbuat dari emas.
Lampu-lampu itu bergelantungan pada rantai-rantai yang terbuat dari perak. Tiap
malam apinya dinyalakan dengan sejenis minyak yang harum baunya. Di sebelah
timur serambi dibuat lubang-lubang cahaya sebanyak seratus buah, demikian pula
di sebelah baratnya. Sehingga matahari sejak mulai terbit sampai terbenam
selalu dapat menerangi serambi.
Raja itu pun membuat sebuah singgasana dari emas.
Panjangnya 80 hasta dan lebarnya 40 hasta. Di sebelah kanannya tersedia 80 buah
kursi, semuanya terbuat dari emas. Di situlah para hulubalang kerajaan duduk.
Di sebelah kirinya juga disediakan 80 buah kursi terbuat dari emas, untuk duduk
para pepatih dan penguasa-penguasa tinggi lainnya. Raja duduk di atas
singgasana dengan mengenakan mahkota di atas kepala.”
Sampai di situ pendeta yang bersangkutan berdiri
lagi sambil berkata: “Jika engkau benar-benar tahu, coba terangkan
kepadaku dari apakah mahkota itu dibuat?”
“Hai saudara Yahudi,” kata Imam Ali menerangkan,
“mahkota raja itu terbuat dari kepingan-kepingan emas, berkaki 9 buah, dan
tiap kakinya bertaburan mutiara yang memantulkan cahaya laksana bintang-bintang
menerangi kegelapan malam.
Raja itu juga mempunyai 50 orang pelayan, terdiri
dari anak-anak para hulubalang. Semuanya memakai selempang dan baju sutera
berwarna merah. Celana mereka juga terbuat dari sutera berwarna hijau. Semuanya
dihias dengan gelang-gelang kaki yang sangat indah. Masing-masing diberi
tongkat terbuat dari emas. Mereka harus berdiri di belakang raja.
Selain mereka, raja juga mengangkat 6 orang,
terdiri dari anak-anak para cendekiawan, untuk dijadikan menteri-menteri atau
pembantu-pembantunya. Raja tidak mengambil suatu keputusan apa pun tanpa
berunding lebih dulu dengan mereka. Enam orang pembantu itu selalu berada di
kanan kiri raja, tiga orang berdiri di sebelah kanan dan yang tiga orang
lainnya berdiri di sebelah kiri.”
Pendeta yang bertanya itu
berdiri lagi. Lalu berkata: “Hai Ali, jika yang kau katakan itu benar,
coba sebutkan nama enam orang yang menjadi pembantu-pembantu raja itu!”Menanggapi hal itu, Imam Ali r.a. menjawab:
“Kekasihku Muhammad Rasul Allah s.a.w. menceritakan kepadaku, bahwa tiga
orang yang berdiri di sebelah kanan raja, masing-masing bernama Tamlikha,
Miksalmina, dan Mikhaslimina. Adapun tiga orang pembantu yang berdiri di
sebelah kiri, masing-masing bernama Martelius, Casitius dan Sidemius. Raja
selalu berunding dengan mereka mengenai segala urusan. Tiap hari setelah raja duduk dalam serambi istana
dikerumuni oleh semua hulubalang dan para punggawa, masuklah tiga orang pelayan
menghadap raja. Seorang diantaranya membawa piala emas penuh berisi wewangian
murni.
Seorang lagi membawa piala perak penuh berisi air
sari bunga. Sedang yang seorangnya lagi membawa seekor burung. Orang yang
membawa burung ini kemudian mengeluarkan suara isyarat, lalu burung itu terbang
di atas piala yang berisi air sari bunga. Burung itu berkecimpung di dalamnya
dan setelah itu ia mengibas-ngibaskan sayap serta bulunya, sampai sari-bunga
itu habis dipercikkan ke semua tempat sekitarnya.
Kemudian si pembawa burung tadi mengeluarkan suara
isyarat lagi. Burung itu terbang pula. Lalu hinggap di atas piala yang berisi
wewangian murni. Sambil berkecimpung di dalamnya, burung itu mengibas-ngibaskan
sayap dan bulunya, sampai wewangian murni yang ada dalam piala itu habis
dipercikkan ke tempat sekitarnya. Pembawa burung itu memberi isyarat suara
lagi. Burung itu lalu terbang dan hinggap di atas mahkota raja, sambil
membentangkan kedua sayap yang harum semerbak di atas kepala raja.
Demikianlah raja itu berada di atas singgasana
kekuasaan selama tiga puluh tahun. Selama itu ia tidak pernah diserang penyakit
apa pun, tidak pernah merasa pusing kepala, sakit perut, demam, berliur,
berludah atau pun beringus. Setelah sang raja merasa diri sedemikian kuat dan
sehat, ia mulai congkak, durhaka dan dzalim. Ia mengaku-aku diri sebagai
“tuhan” dan tidak mau lagi mengakui adanya Allah s.w.t.
Raja itu kemudian memanggil orang-orang terkemuka
dari rakyatnya. Barang siapa yang taat dan patuh kepadanya, diberi pakaian dan
berbagai macam hadiah lainnya. Tetapi barang siapa yang tidak mau taat atau
tidak bersedia mengikuti kemauannya, ia akan segera dibunuh. Oleh sebab itu
semua orang terpaksa mengiakan kemauannya. Dalam masa yang cukup lama, semua orang
patuh kepada raja itu, sampai ia disembah dan dipuja. Mereka tidak lagi memuja
dan menyembah Allah s.w.t.
Pada suatu hari perayaan ulang-tahunnya, raja
sedang duduk di atas singgasana mengenakan mahkota di atas kepala, tiba-tiba
masuklah seorang hulubalang memberi tahu, bahwa ada balatentara asing masuk
menyerbu ke dalam wilayah kerajaannya, dengan maksud hendak melancarkan
peperangan terhadap raja. Demikian sedih dan bingungnya raja itu, sampai tanpa
disadari mahkota yang sedang dipakainya jatuh dari kepala.
Kemudian raja itu sendiri jatuh terpelanting dari
atas singgasana. Salah seorang pembantu yang berdiri di sebelah kanan –seorang
cerdas yang bernama Tamlikha– memperhatikan keadaan sang raja dengan sepenuh
fikiran. Ia berfikir, lalu berkata di dalam hati: “Kalau Diqyanius itu
benar-benar tuhan sebagaimana menurut pengakuannya, tentu ia tidak akan sedih,
tidak tidur, tidak buang air kecil atau pun air besar. Itu semua bukanlah
sifat-sifat Tuhan.”
Enam orang pembantu raja itu tiap hari selalu mengadakan
pertemuan di tempat salah seorang dari mereka secara bergiliran. Pada satu hari
tibalah giliran Tamlikha menerima kunjungan lima orang temannya. Mereka
berkumpul di rumah Tamlikha untuk makan dan minum, tetapi Tamlikha sendiri
tidak ikut makan dan minum. Teman-temannya bertanya: “Hai Tamlikha,
mengapa engkau tidak mau makan dan tidak mau minum?”
“Teman-teman,” sahut Tamlikha,
“hatiku sedang dirisaukan oleh sesuatu yang membuatku tidak ingin makan
dan tidak ingin minum, juga tidak ingin tidur.”
Teman-temannya mengejar: “Apakah yang
merisaukan hatimu, hai Tamlikha?”
“Sudah lama aku memikirkan soal langit,”
ujar Tamlikha menjelaskan.”
Aku lalu bertanya pada diriku sendiri: ‘siapakah
yang mengangkatnya ke atas sebagai atap yang senantiasa aman dan terpelihara,
tanpa gantungan dari atas dan tanpa tiang yang menopangnya dari bawah?
Siapakah yang menjalankan matahari dan bulan di
langit itu?
Siapakah yang menghias langit itu dengan
bintang-bintang bertaburan?’ Kemudian kupikirkan juga bumi ini: ‘Siapakah yang
membentang dan menghamparkan-nya di cakrawala?
Siapakah yang menahannya dengan gunung-gunung
raksasa agar tidak goyah, tidak goncang dan tidak miring?’ Aku juga lama sekali
memikirkan diriku sendiri: ‘Siapakah yang mengeluarkan aku sebagai bayi dari
perut ibuku? Siapakah yang memelihara hidupku dan memberi makan kepadaku?
Semuanya itu pasti ada yang membuat, dan sudah tentu bukan Diqyanius’…”
Teman-teman Tamlikha lalu bertekuk lutut di
hadapannya. Dua kaki Tamlikha diciumi sambil berkata: “Hai Tamlikha dalam
hati kami sekarang terasa sesuatu seperti yang ada di dalam hatimu. Oleh karena
itu, baiklah engkau tunjukkan jalan keluar bagi kita semua!”
“Saudara-saudara,” jawab Tamlikha,
“baik aku maupun kalian tidak menemukan akal selain harus lari meninggalkan
raja yang dzalim itu, pergi kepada Raja pencipta langit dan bumi!”
“Kami setuju dengan pendapatmu,” sahut
teman-temannya.
Tamlikha lalu berdiri, terus beranjak pergi untuk
menjual buah kurma, dan akhirnya berhasil mendapat uang sebanyak 3 dirham. Uang
itu kemudian diselipkan dalam kantong baju. Lalu berangkat berkendaraan kuda
bersama-sama dengan lima orang temannya.
Setelah berjalan 3 mil jauhnya dari kota, Tamlikha
berkata kepada teman-temannya: “Saudara-saudara, kita sekarang sudah
terlepas dari raja dunia dan dari kekuasaannya. Sekarang turunlah kalian dari
kuda dan marilah kita berjalan kaki. Mudah-mudahan Allah akan memudahkan urusan
kita serta memberikan jalan keluar.”
Mereka turun dari kudanya masing-masing. Lalu
berjalan kaki sejauh 7 farsakh, sampai kaki mereka bengkak berdarah karena
tidak biasa berjalan kaki sejauh itu.
Tiba-tiba datanglah seorang penggembala menyambut
mereka. Kepada penggembala itu mereka bertanya: “Hai penggembala, apakah
engkau mempunyai air minum atau susu?”
“Aku mempunyai semua yang kalian
inginkan,” sahut penggembala itu. “Tetapi kulihat wajah kalian
semuanya seperti kaum bangsawan. Aku menduga kalian itu pasti melarikan diri.
Coba beritahukan kepadaku bagaimana cerita perjalanan kalian itu!”
“Ah…, susahnya orang ini,” jawab mereka.
“Kami sudah memeluk suatu agama, kami tidak boleh berdusta. Apakah kami
akan selamat jika kami mengatakan yang sebenarnya?”
“Ya,” jawab penggembala itu.
Tamlikha dan teman-temannya lalu menceritakan
semua yang terjadi pada diri mereka. Mendengar cerita mereka, penggembala itu
segera bertekuk lutut di depan mereka, dan sambil menciumi kaki mereka, ia
berkata: “Dalam hatiku sekarang terasa sesuatu seperti yang ada dalam hati
kalian. Kalian berhenti sajalah dahulu di sini. Aku hendak mengembalikan
kambing-kambing itu kepada pemiliknya. Nanti aku akan segera kembali lagi
kepada kalian.”
Tamlikha bersama teman-temannya berhenti.
Penggembala itu segera pergi untuk mengembalikan kambing-kambing gembalaannya.
Tak lama kemudian ia datang lagi berjalan kaki, diikuti oleh seekor anjing
miliknya.”
Waktu cerita Imam Ali sampai di situ, pendeta
Yahudi yang bertanya melonjak berdiri lagi sambil berkata: “Hai Ali, jika
engkau benar-benar tahu, coba sebutkan apakah warna anjing itu dan siapakah
namanya?”
“Hai saudara Yahudi,” kata Ali bin Abi
Thalib memberitahukan, “kekasihku Muhammad Rasul Allah s.a.w. menceritakan
kepadaku, bahwa anjing itu berwarna kehitam-hitaman dan bernama Qithmir.
Ketika enam orang pelarian itu melihat seekor
anjing, masing-masing saling berkata kepada temannya: kita khawatir kalau-kalau
anjing itu nantinya akan membongkar rahasia kita! Mereka minta kepada
penggembala supaya anjing itu dihalau saja dengan batu.
Anjing itu melihat kepada Tamlikha dan
teman-temannya, lalu duduk di atas dua kaki belakang, menggeliat, dan
mengucapkan kata-kata dengan lancar dan jelas sekali:
“Hai orang-orang, mengapa kalian hendak
mengusirku, padahal aku ini bersaksi tiada tuhan selain Allah, tak ada sekutu
apa pun bagi-Nya. Biarlah aku menjaga kalian dari musuh, dan dengan berbuat
demikian aku mendekatkan diriku kepada Allah s.w.t.” Anjing itu akhirnya
dibiarkan saja. Mereka lalu pergi.
Penggembala tadi mengajak
mereka naik ke sebuah bukit. Lalu bersama mereka mendekati sebuah gua.”Pendeta Yahudi yang menanyakan kisah itu, bangun
lagi dari tempat duduknya sambil berkata: “Apakah nama gunung itu dan
apakah nama gua itu?!” Imam Ali menjelaskan: “Gunung itu bernama
Naglus dan nama gua itu ialah Washid, atau di sebut juga dengan nama Kheram!”
Ali bin Abi Thalib meneruskan ceritanya: secara
tiba-tiba di depan gua itu tumbuh pepohonan berbuah dan memancur mata-air deras
sekali. Mereka makan buah-buahan dan minum air yang tersedia di tempat itu.
Setelah tiba waktu malam, mereka masuk berlindung di dalam gua. Sedang anjing
yang sejak tadi mengikuti mereka, berjaga-jaga ndeprok sambil menjulurkan dua
kaki depan untuk menghalang-halangi pintu gua.
Kemudian Allah s.w.t. memerintahkan Malaikat maut
supaya mencabut nyawa mereka. Kepada masing-masing orang dari mereka Allah
s.w.t. mewakilkan dua Malaikat untuk membalik-balik tubuh mereka dari kanan ke
kiri. Allah lalu memerintahkan matahari supaya pada saat terbit condong
memancarkan sinarnya ke dalam gua dari arah kanan, dan pada saat hampir
terbenam supaya sinarnya mulai meninggalkan mereka dari arah kiri.
Suatu ketika waktu raja Diqyanius baru saja
selesai berpesta ia bertanya tentang enam orang pembantunya. Ia mendapat
jawaban, bahwa mereka itu melarikan diri. Raja Diqyanius sangat gusar. Bersama
80.000 pasukan berkuda ia cepat-cepat berangkat menyelusuri jejak enam orang
pembantu yang melarikan diri. Ia naik ke atas bukit, kemudian mendekati gua. Ia
melihat enam orang pembantunya yang melarikan diri itu sedang tidur berbaring
di dalam gua. Ia tidak ragu-ragu dan memastikan bahwa enam orang itu
benar-benar sedang tidur.
Kepada para pengikutnya ia berkata: “Kalau
aku hendak menghukum mereka, tidak akan kujatuhkan hukuman yang lebih berat
dari perbuatan mereka yang telah menyiksa diri mereka sendiri di dalam gua.
Panggillah tukang-tukang batu supaya mereka segera datang ke mari!”
Setelah tukang-tukang batu itu tiba, mereka
diperintahkan menutup rapat pintu gua dengan batu-batu dan jish (bahan semacam
semen). Selesai dikerjakan, raja berkata kepada para pengikutnya:
“Katakanlah kepada mereka yang ada di dalam gua, kalau benar-benar mereka
itu tidak berdusta supaya minta tolong kepada Tuhan mereka yang ada di langit,
agar mereka dikeluarkan dari tempat itu.”
Dalam gua tertutup rapat
itu, mereka tinggal selama 309 tahun.Setelah masa yang amat panjang itu lampau, Allah
s.w.t. mengembalikan lagi nyawa mereka. Pada saat matahari sudah mulai
memancarkan sinar, mereka merasa seakan-akan baru bangun dari tidurnya
masing-masing. Yang seorang berkata kepada yang lainnya: “Malam tadi kami
lupa beribadah kepada Allah, mari kita pergi ke mata air!”
Setelah mereka berada di luar gua, tiba-tiba
mereka lihat mata air itu sudah mengering kembali dan pepohonan yang ada pun
sudah menjadi kering semuanya. Allah s.w.t. membuat mereka mulai merasa lapar.
Mereka saling bertanya: “Siapakah di antara kita ini yang sanggup dan
bersedia berangkat ke kota membawa uang untuk bisa mendapatkan makanan? Tetapi
yang akan pergi ke kota nanti supaya hati-hati benar, jangan sampai membeli
makanan yang dimasak dengan lemak-babi.” Tamlikha kemudian berkata: “Hai
saudara-saudara, aku sajalah yang berangkat untuk mendapatkan makanan. Tetapi,
hai penggembala, berikanlah bajumu kepadaku dan ambillah bajuku ini!”
Setelah Tamlikha memakai baju penggembala, ia berangkat
menuju ke kota. Sepanjang jalan ia melewati tempat-tempat yang sama sekali
belum pernah dikenalnya, melalui jalan-jalan yang belum pernah diketahui.
Setibanya dekat pintu gerbang kota, ia melihat bendera hijau berkibar di
angkasa bertuliskan: “Tiada Tuhan selain Allah dan Isa adalah Roh Allah.”
Tamlikha berhenti sejenak memandang bendera itu
sambil mengusap-usap mata, lalu berkata seorang diri: “Kusangka aku ini
masih tidur!” Setelah agak lama memandang dan mengamat-amati bendera, ia
meneruskan perjalanan memasuki kota. Dilihatnya banyak orang sedang membaca
Injil. Ia berpapasan dengan orang-orang yang belum pernah dikenal. Setibanya di
sebuah pasar ia bertanya kepada seorang penjaja roti: “Hai tukang roti,
apakah nama kota kalian ini?”
“Aphesus,” sahut penjual roti itu.
“Siapakah nama raja kalian?” tanya
Tamlikha lagi. “Abdurrahman,” jawab penjual roti.
“Kalau yang kau katakan itu benar,” kata
Tamlikha, “urusanku ini sungguh aneh sekali! Ambillah uang ini dan berilah
makanan kepadaku!”
Melihat uang itu, penjual roti keheran-heranan.
Karena uang yang dibawa Tamlikha itu uang zaman lampau, yang ukurannya lebih
besar dan lebih berat.
Pendeta Yahudi yang bertanya itu kemudian berdiri
lagi, lalu berkata kepada Ali bin Abi Thalib: “Hai Ali, kalau benar-benar
engkau mengetahui, coba terangkan kepadaku berapa nilai uang lama itu dibanding
dengan uang baru!”
Imam Ali menerangkan: “Kekasihku Muhammad
Rasul Allah s.a.w. menceritakan kepadaku, bahwa uang yang dibawa oleh Tamlikha
dibanding dengan uang baru, ialah tiap dirham lama sama dengan sepuluh dan dua
pertiga dirham baru!”
Imam Ali kemudian melanjutkan ceritanya: Penjual
Roti lalu berkata kepada Tamlikha: “Aduhai, alangkah beruntungnya aku!
Rupanya engkau baru menemukan harta karun! Berikan sisa uang itu kepadaku!
Kalau tidak, engkau akan ku hadapkan kepada raja!”
“Aku tidak menemukan harta karun,”
sangkal Tamlikha. “Uang ini ku dapat tiga hari yang lalu dari hasil
penjualan buah kurma seharga tiga dirham! Aku kemudian meninggalkan kota karena
orang-orang semuanya menyembah Diqyanius!”
Penjual roti itu marah. Lalu berkata: “Apakah
setelah engkau menemukan harta karun masih juga tidak rela menyerahkan sisa
uangmu itu kepadaku? Lagi pula engkau telah menyebut-nyebut seorang raja
durhaka yang mengaku diri sebagai tuhan, padahal raja itu sudah mati lebih dari
300 tahun yang silam! Apakah dengan begitu engkau hendak memperolok-olok aku?”
Tamlikha lalu ditangkap. Kemudian dibawa pergi
menghadap raja. Raja yang baru ini seorang yang dapat berfikir dan bersikap
adil. Raja bertanya kepada orang-orang yang membawa Tamlikha: “Bagaimana
cerita tentang orang ini?”
“Dia menemukan harta karun,” jawab
orang-orang yang membawanya.
Kepada Tamlikha, raja berkata: “Engkau tak
perlu takut! Nabi Isa a.s. memerintahkan supaya kami hanya memungut seperlima
saja dari harta karun itu. Serahkanlah yang seperlima itu kepadaku, dan
selanjutnya engkau akan selamat.”
Tamlikha menjawab: “Baginda, aku sama sekali
tidak menemukan harta karun! Aku adalah penduduk kota ini!”
Raja bertanya sambil keheran-heranan: “Engkau
penduduk kota ini?”
“Ya. Benar,” sahut Tamlikha.
“Adakah orang yang kau kenal?” tanya
raja lagi.
“Ya, ada,” jawab Tamlikha.
“Coba sebutkan siapa namanya,” perintah
raja.
Tamlikha menyebut nama-nama kurang lebih 1000 orang,
tetapi tak ada satu nama pun yang dikenal oleh raja atau oleh orang lain yang
hadir mendengarkan. Mereka berkata: “Ah…, semua itu bukan nama orang-orang
yang hidup di zaman kita sekarang. Tetapi, apakah engkau mempunyai rumah di
kota ini?”
“Ya, tuanku,” jawab Tamlikha.
“Utuslah seorang menyertai aku!”
Raja kemudian memerintahkan beberapa orang
menyertai Tamlikha pergi. Oleh Tamlikha mereka diajak menuju ke sebuah rumah
yang paling tinggi di kota itu. Setibanya di sana, Tamlikha berkata kepada
orang yang mengantarkan: “Inilah rumahku!”
Pintu rumah itu lalu diketuk. Keluarlah seorang
lelaki yang sudah sangat lanjut usia. Sepasang alis di bawah keningnya sudah
sedemikian putih dan mengkerut hampir menutupi mata karena sudah terlampau tua.
Ia terperanjat ketakutan, lalu bertanya kepada orang-orang yang datang:
“Kalian ada perlu apa?”
Utusan raja yang menyertai Tamlikha menyahut:
“Orang muda ini mengaku rumah ini adalah rumahnya!”
Orang tua itu marah, memandang kepada Tamlikha.
Sambil mengamat-amati ia bertanya: “Siapa namamu?”
“Aku Tamlikha anak Filistin!”
Orang tua itu lalu berkata: “Coba ulangi
lagi!”
Tamlikha menyebut lagi namanya. Tiba-tiba orang
tua itu bertekuk lutut di depan kaki Tamlikha sambil berucap: “Ini adalah
datukku! Demi Allah, ia salah seorang di antara orang-orang yang melarikan diri
dari Diqyanius, raja durhaka.”
Kemudian diteruskannya dengan suara haru: “Ia
lari berlindung kepada Yang Maha Perkasa, Pencipta langit dan bumi. Nabi kita,
Isa as., dahulu telah memberitahukan kisah mereka kepada kita dan mengatakan
bahwa mereka itu akan hidup kembali!”
Peristiwa yang terjadi di rumah orang tua itu
kemudian di laporkan kepada raja. Dengan menunggang kuda, raja segera datang
menuju ke tempat Tamlikha yang sedang berada di rumah orang tua tadi. Setelah
melihat Tamlikha, raja segera turun dari kuda. Oleh raja Tamlikha diangkat ke
atas pundak, sedangkan orang banyak beramai-ramai menciumi tangan dan kaki
Tamlikha sambil bertanya-tanya: “Hai Tamlikha, bagaimana keadaan
teman-temanmu?”
Kepada mereka Tamlikha memberi tahu, bahwa semua
temannya masih berada di dalam gua.
“Pada masa itu kota Aphesus diurus oleh dua
orang bangsawan istana. Seorang beragama Islam dan seorang lainnya lagi
beragama Nasrani. Dua orang bangsawan itu bersama pengikutnya masing-masing
pergi membawa Tamlikha menuju ke gua,” demikian Imam Ali melanjutkan
ceritanya.
Teman-teman Tamlikha semuanya masih berada di
dalam gua itu. Setibanya dekat gua, Tamlikha berkata kepada dua orang bangsawan
dan para pengikut mereka: “Aku khawatir kalau sampai teman-temanku
mendengar suara tapak kuda, atau gemerincingnya senjata. Mereka pasti menduga
Diqyanius datang dan mereka bakal mati semua. Oleh karena itu kalian berhenti
saja di sini. Biarlah aku sendiri yang akan menemui dan memberitahu mereka!”
Semua berhenti menunggu dan Tamlikha masuk seorang
diri ke dalam gua. Melihat Tamlikha datang, teman-temannya berdiri kegirangan,
dan Tamlikha dipeluknya kuat-kuat. Kepada Tamlikha mereka berkata: “Puji
dan syukur bagi Allah yang telah menyelamatkan dirimu dari Diqyanius!”
Tamlikha menukas: “Ada urusan apa dengan
Diqyanius? Tahukah kalian, sudah berapa lamakah kalian tinggal di sini?”
“Kami tinggal sehari atau beberapa hari
saja,” jawab mereka.
“Tidak!” sangkal Tamlikha. “Kalian
sudah tinggal di sini selama 309 tahun! Diqyanius sudah lama meninggal dunia!
Generasi demi generasi sudah lewat silih berganti, dan penduduk kota itu sudah
beriman kepada Allah yang Maha Agung! Mereka sekarang datang untuk bertemu
dengan kalian!”
Teman-teman Tamlikha menyahut: “Hai Tamlikha,
apakah engkau hendak menjadikan kami ini orang-orang yang menggemparkan seluruh
jagad?”
“Lantas apa yang kalian inginkan?”
Tamlikha balik bertanya.
“Angkatlah tanganmu ke atas dan kami pun akan
berbuat seperti itu juga,” jawab mereka.
Mereka bertujuh semua mengangkat tangan ke atas,
kemudian berdoa: “Ya Allah, dengan kebenaran yang telah Kau perlihatkan
kepada kami tentang keanehan-keanehan yang kami alami sekarang ini, cabutlah
kembali nyawa kami tanpa sepengetahuan orang lain!”
Allah s.w.t. mengabulkan permohonan mereka. Lalu
memerintahkan Malaikat maut mencabut kembali nyawa mereka. Kemudian Allah
s.w.t. melenyapkan pintu gua tanpa bekas. Dua orang bangsawan yang
menunggu-nunggu segera maju mendekati gua, berputar-putar selama tujuh hari
untuk mencari-cari pintunya, tetapi tanpa hasil. Tak dapat ditemukan lubang
atau jalan masuk lainnya ke dalam gua.
Pada saat itu dua orang bangsawan tadi menjadi
yakin tentang betapa hebatnya kekuasaan Allah s.w.t. Dua orang bangsawan itu
memandang semua peristiwa yang dialami oleh para penghuni gua, sebagai
peringatan yang diperlihatkan Allah kepada mereka.
Bangsawan yang beragama Islam lalu berkata:
“Mereka mati dalam keadaan memeluk agamaku! Akan ku dirikan sebuah tempat
ibadah di pintu gua itu.”
Sedang bangsawan yang beragama Nasrani berkata
pula: “Mereka mati dalam keadaan memeluk agamaku! Akan ku dirikan sebuah
biara di pintu gua itu.”
Dua orang bangsawan itu bertengkar, dan setelah
melalui pertikaian senjata, akhirnya bangsawan Nasrani terkalahkan oleh
bangsawan yang beragama Islam. Dengan terjadinya peristiwa tersebut, maka Allah
berfirman:
Dan begitulah Kami menyerempakkan mereka, supaya
mereka mengetahui bahawa janji Allah adalah benar, dan bahawa Saat itu tidak
ada keraguan padanya. Apabila mereka berbalahan antara mereka dalam urusan
mereka, maka mereka berkata, “Binalah di atas mereka satu bangunan;
Pemelihara mereka sangat mengetahui mengenai mereka.” Berkata orang-orang
yang menguasai atas urusan mereka, “Kami akan membina di atas mereka
sebuah masjid.”
Sampai di situ Imam Ali bin Abi Thalib berhenti
menceritakan kisah para penghuni gua. Kemudian berkata kepada pendeta Yahudi
yang menanyakan kisah itu: “Itulah, hai Yahudi, apa yang telah terjadi
dalam kisah mereka. Demi Allah, sekarang aku hendak bertanya kepadamu, apakah
semua yang ku ceritakan itu sesuai dengan apa yang tercantum dalam Taurat
kalian?”
Pendeta Yahudi itu menjawab: “Ya Abal Hasan,
engkau tidak menambah dan tidak mengurangi, walau satu huruf pun! Sekarang
engkau jangan menyebut diriku sebagai orang Yahudi, sebab aku telah bersaksi
bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba Allah serta
Rasul-Nya. Aku pun bersaksi juga, bahwa engkau orang yang paling berilmu di
kalangan ummat ini!”
Demikianlah hikayat tentang para penghuni
gua (Ashhabul Kahfi), kutipan dari kitab Qishasul Anbiya yang tercantum dalam
kitab Fadha ‘ilul Khamsah Minas Shihahis Sittah, tulisan As Sayyid Murtadha Al
Huseiniy Al Faruz Aabaad, dalam menunjukkan banyaknya ilmu pengetahuan yang
diperoleh Imam Ali bin Abi Thalib dari Rasul Allah s.a.w.

 


0 komentar:

Posting Komentar